Ayat ini menegaskan bahwa penanggalan yang benar adalah penanggalan bulan. Maka segala ibadah, dari puasa hingga haji, harus berpijak pada kalender hijriah.
Hal ini sejalan dengan pandangan Imam al-Qurthubi menegaskan bahwa seluruh ibadah harus dikaitkan dengan hitungan bulan hijriah. Maka penting sekali memiliki sistem kalender hijriah yang rapi dan menyatu.
Jamaah yang dimuliakan Allah,
Allah juga menjelaskan bahwa hilal adalah penanda waktu untuk manusia:
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِىَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلْحَجِّ
“Mereka bertanya tentang hilal. Katakanlah, itu adalah penunjuk waktu bagi manusia dan haji” (QS. Al-Baqarah [2]: 189).
Ayat ini menggabungkan dua aspek penting: sosial dan ibadah. Artinya, hilal bukan hanya untuk menentukan ibadah, tetapi juga untuk aktivitas hidup sehari-hari. Maka penanggalan Islam harus bisa mencakup keduanya.
Selanjutnya, Allah berfirman:
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنٰهُ مَنَازِلَ حَتّٰى عَادَ كَالْعُرْجُوْنِ الْقَدِيْمِ
“Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua” (QS. Yasin [36] : 39).
Ayat ini menjelaskan bahwa bulan memiliki siklus. Dalam astronomi, ini disebut ijtimak atau konjungsi. Fenomena ini terjadi secara global, serentak di seluruh dunia. Maka, dengan ilmu falak modern, kita bisa menetapkan awal bulan hijriah secara bersama-sama.
Jamaah yang berbahagia,
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Janganlah kalian berpuasa sampai melihat hilal. Dan jangan berbuka sampai melihatnya. Jika tertutup, maka kadarkanlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa penentuan bulan berdasarkan rukyat atau penghitungan. Dalam konteks dunia sekarang, ilmu falak memungkinkan kita menggabungkan keduanya. Dan hasilnya adalah sistem kalender Islam yang bisa berlaku untuk semua.
Komentar Anda