PORTAL BONTANG – Masih ada pertanyaan apakah saat Shalat berjamaah di masjid, makmum ikut membaca Al Fatihah atau diam mendengarkan imam.
Dikutip Portalbontang.com dari situs resmi Muhammadiyah, ada sejumlah penjelasan dari pertanyaan tersebut.
Berikut ini penjelasan makmum ikut baca Al Fatihah atau diam mengikuti imam saat shalat berjamaah di masjid.
Baca Juga: 7 Bacaan Dzikir setelah Shalat yang Harus Diamalkan
Bacaan orang yang shalat ketika menjadi makmum dibedakan menjadi dua. Pertama, ketika imam membaca dengan tanpa suara (sirr) dan kedua ketika imam membaca dengan keras (jahr).
Ketika ia menjadi makmum dalam salat sirr, ia disunahkan membaca doa iftitah dan diwajibkan membaca al-Fatihah. Hal itu didasarkan kepada hadist Rasulullah saw:
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: adalah Rasulullah saw apabila (setelah) bertakbir saat shalat, ia diam sejenak. Aku kemudian bertanya: Ya Rasulullah, demi ayah dan ibuku, apa yang engkau lafalkan ketika engkau diam antara takbir dan memulai bacaan (al-Fatihah)? Rasululllah menjawab: Aku mengatakan: Allahuma ba’id baini wa baina khatayaya kama ba’adta bainal-masyriqi wal-maghrib, Allahuma naqqini min khatayaya kama yunaqqats-tsaubul-abyadhu minad-danas, Allahummaghsilni min khatayaya bil-ma’i wats-tsalji wal-barad.” (HR an-Nasai, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dan lafal hadis dari Ibnu Khuzaimah).
Baca Juga: Hukum Makan Sahur saat Imsak, Berikut Sunah yang Diajarkan Rasulullah SAW
“Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Tidak sah salat seseorang yang tidak membaca induk al-Quran (Al Fatihah).” (HR. Muttafaq ‘Alaihi).
Ketika ia menjadi makmum dalam shalat jahr, yang ia lakukan sebelum imam mulai membaca Al Fatihah adalah membaca doa iftitah (sebagaimana tercantum dalam hadis di atas) dan saat imam sedang membaca bacaan ia diam dan mendengarkan bacaan imam.
Diamnya makmum untuk mendengarkan dan menyimak bacaan imam merupakan bagian dari kesempurnaan bermakmum.
Baca Juga: Lupa Baca Niat Puasa Ramadhan, Ini Solusinya Kata Ulama
Hal itu didasarkan pada ayat al-Qur’an yang berbunyi: “Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. al-A’raf (7): 204).
Sabda Nabi saw: “Hanyasanya imam itu dijadikan panutan makmum. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, jika ia membaca, diamlah kalian.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Abi Syaibah).
Dalam hadist lain juga terdapat keterangan yang melarang makmum membaca saat imam sedang membaca dengan suara keras (jahr).
Baca Juga: Izin Terbit, UMKT Jadi PTS Pertama di Kalimantan yang Miliki Fakultas Kedokteran
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw ketika selesai dari suatu salat yang bacaannya jahr, ia bertanya (kepada jamaahnya): Adakah seseorang di antara kalian tadi membaca al-Qur’an? Seseorang menjawab: Ya, saya, wahai Rasulullah. Sabda beliau: Aku katakan kepadamu mengapa aku diganggu (sehingga bacaanku terganggu)? Kemudian para sahabat berhenti membaca al-Qur’an bersama Rasulullah saw bila beliau membacanya dengan suara keras dan bacaan itu mereka dengar.” (HR Malik dalam kitab al-Muwatha).
Ada pula beberapa ulama yang mengambil jalan tengah, dengan mengkompromikan keharusan membaca surat Al Fatihah dalam hadist “la salata li man lam yaqra’ bi ummil kitab” dan keharusan diam serta mengikuti bacaan dalam hadist “wa idza qaraa fa anshitu” dengan menganjurkan imam untuk berdiam sebentar (saktah) sebelum membaca surat, yaitu untuk memberikan kesempatan bagi makmum membaca al-Fatihah (Ibnul-Qayyim dalam Zadul-Ma’ad, hal. 207).
Pendapat ini juga boleh pula untuk dipakai.
Baca Juga: Alhamdulillah, PP THR dan Gaji Ke-13 Terbit, Cair H -10 Lebaran, Ini Komponen yang Diterima
Pendapat para ulama memang beragam dalam permasalahan doa iftitah dan membaca surat Al Fatihah ini, karena ada perbedaan di antara mereka dalam mengkompromikan masing-masing nash.
Oleh karena keberagaman itu, hendaknya warga Muhammadiyah dan umat muslim umumnya membuka ruang toleransi setinggi-tingginya untuk pengamalan yang berbeda dengan fatwa Majelis Tarjih, dan dalam hal ini kita bisa menerapkan prinsip at-tanawwu’ (keragaman).
Wallahu a’lam. ***
Komentar Anda