Melakukan ibadah dengan ikhlas hanya karena Allah, tidak karena riya’ dan ingin dilihat baik di hadapan orang lain.
As-Suyuthi dalam Ad-Dibaj mengatakan: “Yang dikehendaki dari “ihtisaban” adalah mencari pahala dari Allah saja, tidak melihat manusia atau apapun hal lain yang bertentangan dengan keikhlasan.” (Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Ad-Dibaj ‘ala Sahihi Muslim bin Al-Hajjaj [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2016], juz II, halaman 173).
Pemaknaan yang sama juga disampaikan dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi karya Muhammad Abdurrahman, sebagai berikut:
وَاحْتِسَابًا أَيْ طَلَبًا لِلثَّوَابِ مِنْهُ تَعَالَى أَوْ إِخْلَاصًا أَيْ بَاعِثُهُ عَلَى الصَّوْمِ مَا ذُكِرَ لَا الْخَوْفُ مِنَ النَّاسِ وَلَا الْاِسْتِحْيَاءُ مِنْهُمْ وَلَا قَصْدُ السُّمْعَةِ وَالرِّيَاءِ عَنْهُمْ
Artinya, “(Dan karena mengharapkan pahala), maksudnya mencari pahala dari Allah swt, atau karena ikhlas, yaitu motivasinya berpuasa adalah ikhlas karena Allah, bukan karena takut kepada manusia, atau merasa malu, juga tidak karena ingin didengar baik oleh orang lain dan tidak pamer.” (Muhammad Abdurrahman, Tuhfatul Ahwadzi Bisyarhi Jami’it Tirmidzi, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2018], juz IV, halaman 244).
Jadi, orang yang melakukan puasa dan shalat malam di bulan Ramadhan harus melakukannya dengan senang hati dan tidak merasa berat, serta dilakukan dengan ikhlas karena Allah, tidak karena pamer, malu ataupun takut.
Adapun dosa yang diampuni pada dua hadits di atas adalah dosa dari kemaksiatan kepada Allah swt (haqqullah), bukan dosa antarsesama manusia (haqqul adami), karena dosa haqqul adami tidak akan terhapus kecuali dengan meminta maaf dan meminta halal, sebagaimana disebutkan dalam kitab I’anatut Thalibin:
Komentar Anda