Portalbontang.com, Jakarta – Kebijakan kontroversial Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kembali menjadi sorotan.
Kali ini, langkahnya mengirim siswa “nakal” ke barak militer menuai kritik dari pegiat pendidikan.
Melalui akun Instagram resminya @dedimulyadi71, Dedi membagikan momen pengiriman sejumlah siswa ke barak TNI di wilayah Purwakarta, Jawa Barat.
Baca Juga: IFG Hadirkan Fasilitas Day Care Ramah Anak, Dukung Work-Life Balance Karyawan di Hari Buruh 2025
Mereka dikirim untuk menjalani masa pelatihan dan pembinaan selama enam bulan penuh. Dedi menyebut langkah ini sudah atas persetujuan orang tua siswa.
Namun, di balik viralnya unggahan tersebut, muncul kritik dari berbagai pihak, termasuk dari Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim.
“Konsepnya belum jelas ini. Militer, pembinaan kesadaran bela negara, atau sekadar pelatihan?” ujar Salim dalam program Dua Sisi TVOne yang tayang pada Kamis, 1 Mei 2025.
Satriwan mempertanyakan apakah metode ini benar-benar menyasar akar permasalahan kenakalan siswa atau sekadar simbolik pembinaan.
Ia juga menilai, pelatihan baris-berbaris dan wawasan kebangsaan sejatinya sudah menjadi bagian dari pengalaman siswa melalui kegiatan seperti Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS).
“Kalau hanya sekadar pelatihan, ini sudah sering dirasakan oleh alumni SMA, SMP. Saya juga dulu sering ikut LDKS, programnya tidak sampai enam bulan,” kata Salim.
Lebih jauh, ia menyoroti potensi terganggunya proses pendidikan formal siswa yang dikirim ke barak.
Baca Juga: Viral! Dedi Mulyadi Kirim Siswa Tawuran ke Barak Militer: Sudah Masuk Mobil Kostrad
“Kalau itu sampai enam bulan, nanti kurikulum pendidikannya bagaimana? Ini yang jadi pertanyaan besar,” tambahnya.
Di tengah perubahan zaman dan dunia pendidikan yang menekankan pendekatan holistik dan partisipatif, kebijakan seperti ini dinilai sebagian pihak terlalu menekankan aspek disiplin tanpa menjelaskan arah pembinaan dan tolok ukur keberhasilannya.
Sebagai informasi, model pembinaan siswa melalui lembaga militer sebenarnya bukan hal baru.
Beberapa negara seperti Korea Selatan pernah menjalankan program serupa dalam waktu terbatas, namun tetap berada dalam koridor sistem pendidikan nasional yang terukur dan transparan.
Baca Juga: Prabowo Lepas Baju di Panggung May Day 2025, Serukan Selamatkan Kekayaan Rakyat untuk Buruh
Untuk konteks Indonesia, publik berharap kebijakan seperti ini tidak hanya responsif terhadap kenakalan siswa semata, melainkan juga adaptif terhadap pendekatan pendidikan modern yang menempatkan siswa sebagai subjek pembelajar. ***
Komentar Anda