PORTAL BONTANG – Kejaksaan Agung (Kejagung) menilai keputusan hakim yang menyatakan tuntutan 12 tahun penjara bagi terdakwa korupsi Harvey Moeis terlalu berat merupakan bentuk subjektivitas.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung RI, Harli Siregar, menegaskan bahwa bukti yang diajukan jaksa penuntut umum dalam persidangan telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
“Jika mencermati pertimbangan yang disampaikan Majelis Hakim selama persidangan, tuntutan jaksa yang berlandaskan Pasal 183-184 sudah jelas relevan,” ujar Harli dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (31/12/2024).
Baca Juga: Rangkuman Kasus Kriminal 2024: Dari Pemerasan Polisi di DWP hingga Oknum Komdigi Lindungi Situs Judi
Menurut Harli, keputusan hakim untuk mengurangi hukuman Harvey Moeis hingga setengahnya dari tuntutan jaksa didasarkan pada penilaian subjektif.
“Dari segi substansi, tidak ada kekeliruan dalam tuntutan kami,” katanya.
Pengusaha Harvey Moeis dijatuhi vonis 6,5 tahun penjara atas keterlibatannya dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun.
Vonis ini jauh lebih ringan dibanding tuntutan 12 tahun penjara yang diajukan jaksa.
Baca Juga: Pemkot Bontang Umumkan Hasil Seleksi Kompetensi PPPK Tahap I, Cek Namamu di Sini!
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Eko Aryanto, menjelaskan dalam sidang 23 Desember 2024 bahwa tuntutan jaksa terlalu tinggi dibanding peran terdakwa dalam kasus tersebut.
Hakim Anggap Tuntutan Jaksa Tidak Proporsional
Hakim Eko menyebut terdakwa tidak masuk dalam struktur manajemen PT Refined Bangka Tin (RBT) dan hanya bertindak sebagai perwakilan perusahaan dalam pertemuan dengan PT Timah.
“Harvey Moeis tidak terlibat langsung dalam keputusan kerja sama maupun administrasi keuangan PT RBT,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa PT Timah dan PT RBT bukan penambang ilegal, melainkan memiliki izin operasi yang sah.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, hakim memutuskan tuntutan jaksa perlu dikurangi.
Pengamat Soroti Ketidakpastian Hukum
Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS), Ali Ahmudi Achyak, menyebut ketidakpastian hukum di sektor tambang dapat menghambat investasi.
Ia menilai tanggung jawab atas dampak lingkungan seharusnya berada pada perusahaan, bukan dijadikan alasan kerugian negara dalam kasus korupsi.
“Ketimpangan hukum hanya akan merugikan pengusaha yang patuh dan memperburuk iklim investasi nasional,” ujar Ali. ***
Komentar Anda