PORTAL BONTANG – Penangkapan Obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Marimutu Sinivasan, saat berusaha melarikan diri ke Malaysia pada Minggu, 8 September 2024, tengah menjadi sorotan publik.
Hal ini telah dikonfirmasi oleh Dirjen Imigrasi, Silmy Karim, yang menjelaskan bahwa paspor Marimutu Sinivasan telah ditahan.
“Ditahan paspornya untuk selanjutnya Satgas BLBI yang berurusan dengan yang bersangkutan,” ungkap Silmy kepada wartawan di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong, Kalimantan Barat, Senin, 9 September 2024.
Marimutu Sinivasan adalah pemimpin Grup Texmaco, yang terlibat dalam skandal BLBI. Berikut adalah rincian terkait utang Texmaco dan indikasi pidana terkait skandal BLBI.
Utang Grup Texmaco
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, pernah mengungkap bahwa Grup Texmaco meminjam dana dari berbagai bank, baik BUMN maupun swasta, saat krisis keuangan 1998.
“Kemudian bank-bank tersebut ditalangi oleh pemerintah pada saat terjadi krisis dan penutupan bank,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers, Kamis, 23 Desember 2021.
Ia juga menambahkan, utang Grup Texmaco untuk divisi engineering tercatat sebesar Rp8,08 triliun, sementara divisi tekstilnya berutang Rp5,28 triliun.
Saat krisis 1998, utang tersebut menjadi macet, dan pemerintah mengambil alih bank-bank terkait melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Indikasi Pidana dalam Skandal BLBI
Skandal BLBI merupakan salah satu kejahatan ekonomi terbesar di Indonesia. Meski kasus ini terjadi pada tahun 1998, penyelesaiannya hingga kini belum tuntas.
Organisasi Seknas Fitra telah mengungkapkan setidaknya dua indikasi pidana dalam skandal BLBI.
Indikasi Korupsi
Salah satu indikasi utama adalah adanya proses merger dan pengawasan yang tidak sesuai ketentuan, sehingga muncul dugaan korupsi akibat penyalahgunaan wewenang.
Selain itu, penetapan bank gagal sistemik dalam skandal ini juga diduga bermasalah karena tidak didasarkan pada data dan kriteria yang terukur, yang memperkuat indikasi adanya korupsi.
RUU Pengampunan Pajak
RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang disetujui DPR pada 2017 juga mendapat sorotan, terutama terkait dengan kesalahan tafsir Pasal 23A yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 23 tentang pengelolaan APBN dan pajak.
Baca Juga: Kemendagri Resmi Atur Pakaian Dinas ASN dalam Peraturan Menteri Baru, PPPK Patut Bersyukur
Pengampunan pajak dinilai bertentangan dengan sistem hukum pajak yang bersifat memaksa, dan RUU ini dinilai mendesak revisi terhadap UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) terlebih dahulu.
Kritik lain adalah absennya naskah akademik dalam RUU ini, yang memperbesar potensi pelanggaran aturan sebelumnya. ***
***
Penulis: M Zulfikar A | Editor: M Zulfikar A
Komentar Anda