Mengutip hasil survei Katadata Insight Center bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika pada tahun 2021, mayoritas masyarakat Indonesia mengakses informasi paling banyak melalui media sosial, dengan persentase mencapai 73 persen.
Baca Juga: Disebut dalam Al-Quran, Ini Manfaat Buah Zaitun untuk Kesehatan
Disusul dengan platform televisi sebanyak 59,7 persen dan berita online sebanyak 26,7 persen.
Tingginya konsumsi informasi masyarakat melalui media sosial—media non-konvensional yang sejatinya menjadi platform berbagi pesan—mau tidak mau membuat perusahaan media konvensional, serta profesi jurnalistik secara umum, turut bergeser lebih banyak ke platform tersebut untuk menyiarkan informasinya.
“Peredarannya bisa lewat Instagram, lewat TikTok, lewat Facebook atau lewat YouTube. Jadi arus informasi ‘jurnalistik’ saat ini lebih didominasi audio visual,” sebut Aqwam Fiazmi Hanifan, Produser Narasi Newsroom kepada VOA.
Baca Juga: Kiat Pakar Gizi untuk Konsumsi Gula Aman pada Anak dan Mengatasi Kecanduan
Selaku Produser Investigasi Visual, Aqwam juga mengimplementasikan hal serupa untuk produk jurnalisme yang dihasilkannya.
Efektivitas audio visual dalam amplifikasi informasi hasil investigasi jurnalistik, terlebih jika sampai viral, menurutnya menjadi salah satu alasan mengapa pemerintah dan DPR ingin campur tangan dalam pengawasannya melalui RUU Penyiaran terbaru.
“Kalau kita berkaca kepada pemilu kemarin, di mana banyak produksi kawan-kawan audio visual seperti misalkan mas Dandy (melalui Watchdog), misalkan juga kawan-kawan Tempo yang mengconvert, dikurangi peran berbasis teks mereka dengan format podcast,” tuturnya.
Discussion about this post