Menurut Aqwam, alasan tersebut terlihat jelas dalam pembahasan RUU terkini yang secara spesifik menyasar pengawasan audio visual, bukan hasil jurnalisme investigasi dalam bentuk tulisan.
Baca Juga: Setelah 7 Hari, Operasi SAR Banjir Kutai Barat Ditutup, Kebutuhan Pokok Korban Jadi Fokus
“Karena yang mengatur (lewat UU penyiaran) kan KPI ya, bukan Dewan Pers. Jadi sebetulnya yang ingin mereka setop, yang ingin mereka regulasi secara penuh memang konten-konten investigasi berbasis audio visual,” Jelas Aqwam.
Wacana untuk mengubah UU No. 32 tahun 2002 yang mengatur penyiaran telah lama timbul tenggelam pembahasannya dalam beberapa periode pemerintahan terakhir.
Namun, setidaknya hingga 27 Maret lalu, draf RUU penyiaran sudah sampai pada tahap proses di Badan Legislatif (Baleg) DPR RI sebelum nantinya akan diserahkan ke Komisi I DPR.
“Pertanyaannya bukan kenapa baru digagas sekarang, tetapi kapan mau selesai? Jadi prosesnya sudah cukup panjang dan justru luar biasa lamanya,” terang Rizki Natakusumah, Anggota DPR Komisi I dari Fraksi Partai Demokrat kepada VOA.
Baca Juga: Penerbangan Langsung Balikpapan-Kediri Dibuka 6 Juni 2024, Super Air Jet Layani 3 Kali Seminggu
Menurut Rizki, pesatnya perkembangan teknologi penyiaran, termasuk salah satunya Over-The-Top atau siaran melalui jaringan internet yang tidak melibatkan operator penyiaran audio visual konvensional seperti televisi dan radio, menjadi salah satu alasan agar KPI memiliki wewenang yang lebih luas dalam pengawasannya, dimulai dengan merevisi UU tersebut.
Discussion about this post