“Menurut penelitian, dari 64 negara, 30 diantaranya menggunakan troll factory untuk melakukan perang informasi. Ini sungguh sangat berbahaya jika tidak diwaspadai,” tukas Nasrullah.
Mahasiswa berebut mengajukan pertanyaan usai kedua narasumber memaparkan materinya. Sebagian besar mempertanyakan keberpihakan pemerintah dan media ketika terjadi perang informasi itu.
Publik banyak dirugikan karena ikut terpecah dan masuk dalam konflik ketika perang opini terjadi di media.
Salah satu penanya, Sania, mengritik media banyak melakukan framing berita menggunakan cara-cara information disorder.
Baca Juga: Laba Bank BJB Syariah Anjlok 60 Persen di Kuartal I 2024
Merespon pernyataan ini, Selcuk mengatakan subjektivitas media seringkali menjadi sumber informasi publik dan menjadikan sebegai referensi.
Cara terbaik menurutnya adalah melakukan pengecekan ulang tentang kebenaran yang disampaikan media dengan cara bertanya langsung ke sumber terpercaya.
Senada Selcuk, Nasrullah menegaskan tidak ada media yang 100 persen objektif dan netral. Setiap media memiliki kepentingan yang sulit dilepaskan, baik dari sisi individu pekerja media, rutinitas, organisasi internal dan eksternal media, maupun pada tingkat ideologi.
Baca Juga: Pria Lebih Berisiko Komplikasi Diabetes, Studi Ungkap Fakta Mengejutkan
Penanya lainnya, Ghozi, menanyakan peran aktor non-militer dalam perang informasi. Ia juga mengkritisi penggunaan istilah benar dan salah melalui media oleh pihak-pihak yang berbeda.
Baginya, bukankah masing-masing pihak berhak mengklaim kebenaran tanpa harus menganggap bahwa pihak lain salah.
Discussion about this post