PORTAL BONTANG – Jelang Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1946, Persatuan Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bontang mengadakan Pawai Ogoh-Ogoh pada Minggu 3 Maret 2024.
Pawai Ogoh-Ogoh yang digelar oleh umat Hindu Bontang ini dimulai di depan rumah dinas Wali Kota Bontang dan dibuka secara resmi oleh Wali Kota Bontang, Basri Rase.
Pelaksanaan pawai Ogoh-Ogoh ini pun mendapat sambutan hangat dari Wali Kota Basri Rase.
Baca Juga: Sejarah Singkat Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan, Jumlah Rakaat Berubah-ubah
Dalam pidatonya, Basri Rase mengungkapkan apresiasi dan menyambut baik pelaksanaan acara budaya tersebut.
Menurutnya, acara ini adalah momentum penting untuk mempromosikan budaya dan memperkuat ikatan persaudaraan.
“Perbedaan ini dapat menjadi perekat ikatan persaudaraan. Selamat merayakan Hari Raya Nyepi. Pawai Ogoh-Ogoh ini adalah simbol dari budaya umat Hindu. Kami merasa bangga dan berharap acara ini dapat ditingkatkan tahun depan,” katanya, dilansir Portalbontang.com dari situs resmi PPID Kota Bontang.
Baca Juga: Sejarah Puasa Umat Terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW
Pawai Ogoh-Ogoh ini dimulai dari Jalan Awang Long dan berakhir di area eks MTQ Jalan Parikesit, Kelurahan Bontang Baru.
Ada tujuh peserta yang ikut serta dalam pawai ini, termasuk Duta Wisata, Paguyuban Bali, Komunitas Onthel, Paguyuban Banyuwangi (Ikawangi), Paguyuban Kediri, Paguyuban Malang (Joyo Manungal), dan Paguyuban seni kudalumping Setyo Budoyo Putra Birawa.
Dikutip dari berbagai sumber, pawai Ogoh-Ogoh adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali menjelang perayaan Hari Raya Nyepi.
Ogoh-ogoh adalah patung besar yang terbuat dari bambu dan material lainnya, biasanya divisualisasikan dengan tubuh besar, kuku panjang, dan wajah yang seram.
Patung ini biasanya berwujud sosok buta kala atau raksasa, yang diarak keliling desa saat malam pengerupukan, yaitu malam sebelum Nyepi.
Tujuan dari pawai ini adalah untuk menyerap energi-energi negatif di sekitarnya.
Baca Juga: MPID PWM Jatim Luncurkan APIMU, Undang Okky Madasari untuk Pertajam Ilmu
Setelah diarak keliling desa, ogoh-ogoh tersebut kemudian dibakar atau di-pralina.
Pembakaran ogoh-ogoh ini sering dimaknai sebagai upaya memusnahkan kejahatan yang disimbolkan dengan buta kala di muka bumi. ***