وَقَوْلُهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ أَيْ مِنَ الصَّغَائِرِ أَوِ الْأَعَمِّ دُوْنَ التَّبِعَاتِ وَهِيَ حُقُوقُ الْآدَمِيِّيْنَ أَمَّا هِيَ فَلَا يُكَفِّرُهَا إِلَّا الْاِسْتِحْلَالُ مِنْ مُسْتَحِقِّهَا إِنْ كَانَ مَوْجُوْدًا أَهْلًا لِلْاِسْتِحْلَالِ مِنْهَا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلًا أَوْ لَمْ يَكُنْ مَوْجُوْدًا فَوَارِثُهُ
Artinya, “(Dan ungkapan: “Dosa-dosanya yang terdahulu”), yakni dosa-dosa kecil atau dosa-dosa yang lebih umum, dan tidak termasuk dosa yang menjadi hak manusia. Adapun dosa-dosa itu hanya dapat ditebus dengan menghalalkannya dari orang yang berhak, jika dia ada dan bisa menghalalkannya. Jika dia tidak bisa menghalalkannya (semisal anak kecil atau orang gila) atau tidak ada, maka kepada ahli warisnya.” (Abu Bakar Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Mesir, Daru Ihya’il Kutubil ‘Arabiyah: 1883] juz II, halaman 258).
Baca Juga: Besok Sidang Isbat 2024, BRIN: Ada Perbedaan Awal Ramadhan 1445 H
Sedangkan untuk tingkatan dosa yang mendapat ampunan dari Allah swt, menurut ulama terdapat tiga pendapat: Semua dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar. Ini pendapat dari Ibnu Mundzir.
Hanya untuk dosa-dosa kecil. Ini pendapat An-Nawawi dan Imam Al-Haramain.
Dosa kecil diampuni, sedangkan dosa besar diringankan.
Baca Juga: Jangan Asal Konsumsi Air Hujan, Dosen Pendidikan Biologi: Mengandung Mikroba
غُفِرَ لَهُ: ظَاهِرُهُ يَتَنَاوَلُ الصَّغَائِرَ وَالْكَبَائِرَ وَبِهِ جَزَمَ بْنُ الْمُنْذِرِ وَقَالَ النَّوَوَي الْمَعْرُوْفُ أَنَّهُ يَخْتَصُّ بِالصَّغَائِرِ وَبِهِ جَزَمَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَعَزَاهُ عِيَاضٌ لِأَهْلِ السُّنَّةِ قَالَ بَعْضُهُمْ وَيَجُوْزُ أَنْ يُخَفِّفَ مِنَ الْكَبَائِرِ إِذَا لَمْ يُصَادِفْ صَغِيْرَةً
Artinya, “(Dia akan diampuni) yang jelas maksudnya adalah untuk dosa-dosa kecil dan besar, dan Ibnu Mundhir menegaskan makna tersebut. An-Nawawi mengatakan bahwa itu khusus untuk dosa-dosa kecil, pendapat ini ditegaskan oleh Imam Haromain. Iyadl menyatakan ini pendapat Ahlus Sunnah. Sebagian ulama berkata, bisa jadi maksudnya mengurangi dosa besar jika tidak ditemui dosa kecil.” (Abdurrahman, Tuhfatul Ahwadzi, Juz IV, Halaman 244).
Komentar Anda