Portalbontang.com, Jakarta – Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Prabowo Subianto menetapkan target investasi hilirisasi industri yang sangat ambisius, mencapai USD 618 miliar pada tahun 2025.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa investasi besar ini akan difokuskan pada berbagai sektor strategis. Sektor-sektor tersebut meliputi minyak dan gas, pertambangan, pertanian, hingga kelautan.
“(Investasi) hilirisasi yang ditargetkan kurang lebih sekitar USD 618 miliar untuk tahun 2025,” ungkap Bahlil usai rapat terbatas dengan Presiden Prabowo di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin 3 Maret 2025 lalu, dilansir Portalbontang.com dari VOA Indonesia.
Baca Juga: Mudik Lebaran 2025 Makin Hemat: Harga Tiket Pesawat Domestik Turun Hingga 14 Persen
Tahap awal program hilirisasi ini akan dimulai dengan 21 proyek senilai USD 40 miliar. Bahlil menambahkan bahwa Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) akan turut berperan dalam pembiayaan tahap awal ini.
Beberapa proyek hilirisasi yang menjadi prioritas pemerintah antara lain:
- Pembangunan tempat penyimpanan minyak di Pulau Nipah: Proyek ini bertujuan untuk memperkuat ketahanan energi nasional dan memenuhi kebutuhan minyak nasional hingga 30 hari, sesuai dengan amanat Peraturan Presiden.
- Pembangunan fasilitas penyulingan minyak berkapasitas 500 ribu barel per hari: Fasilitas ini diharapkan menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia dan menstabilkan pasokan energi dalam negeri, mengurangi ketergantungan impor.
- Pengembangan proyek produksi Dimethyl Ether (DME) dari gasifikasi batubara: Proyek DME ini ditujukan sebagai substitusi LPG, dengan pendekatan yang berbeda dari sebelumnya, yaitu mengandalkan sumber daya dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada investor asing. Proyek ini akan dikembangkan paralel di Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.
Presiden Prabowo sendiri telah menetapkan 26 sektor komoditas sebagai prioritas hilirisasi nasional, mencakup mineral, migas, perikanan, pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
“Pasti ini akan menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Cukup banyak angka-angkanya nanti kita akan umumkan pada kesempatan yang lain, tetapi yang jelas kita blending antara padat karya dan padat teknologi. Yang jelas, tujuan investasi itu kan dalam rangka menciptakan lapangan pekerjaan yang berkualitas, menciptakan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan negara serta pertumbuhan ekonomi nasional kita,” tutur Bahlil.
Tantangan Hilirisasi: Perhatikan Permintaan Pasar dan Dampak Ekonomi Lokal
Ekonom CORE Indonesia, Muhammad Faisal, menilai positif rencana hilirisasi pemerintah.
Baca Juga: Harapan Baru Korban PHK Sritex: Investor Datang, Peluang Kerja Kembali Terbuka
Menurutnya, hilirisasi adalah langkah tepat untuk meningkatkan nilai tambah komoditas dalam negeri dan menciptakan efek domino positif bagi perekonomian, termasuk penciptaan lapangan kerja dan stabilisasi harga pangan (contohnya di sektor pertanian).
Namun, Faisal mengingatkan pemerintah untuk belajar dari pengalaman hilirisasi sebelumnya, terutama terkait dengan:
- Kelemahan dalam membangun keterkaitan dengan ekonomi lokal di sekitar lokasi proyek hilirisasi.
- Dampak lingkungan dari proyek smelter dan hilirisasi.
- Permasalahan tenaga kerja, termasuk pelibatan tenaga kerja lokal, perlindungan tenaga kerja, dan keselamatan kerja.
“(…) Kalau kita berkaca dari hilirisasi nikel banyak catatan yang kaitannya dengan kelemahan dalam hal membangun keterkaitan dengan ekonomi lokal misalnya di tempat smelter itu berada. Kemudian bagaimana smelter juga berdampak terhadap lingkungan di sekitar lokasi, dan bagaimana permasalahan yang berkaitan dengan tenaga kerja, masalah pelibatan tenaga kerja lokal, masalah perlindungan ketenagakerjaannya, keselamatan kerja dan lain-lain,” ungkap Faisal.
Lebih lanjut, Faisal menekankan pentingnya memperhitungkan permintaan pasar sebelum menjalankan program hilirisasi.
Pemerintah perlu memilih sektor hilirisasi yang sesuai dengan kebutuhan pasar agar produk hilir yang dihasilkan dapat terserap dengan baik.
“Hilirisasi tidak hanya bisa dengan sudut pandang bahwa kita ingin menciptakan produk hilir dari sisi suplai tanpa melihat demand-nya seperti apa dan demand setiap komoditas itu berbeda-beda. Jadi harus dilihat juga karena kita tidak ingin menjual dan memproduksi sesuatu yang nanti tidak dibeli atau kurang pembelinya,” jelasnya.
Baca Juga: Siapkan THR Lebaran dengan Uang Baru! BI Buka Penukaran Online, Kuota Terbatas!
Faisal juga menyoroti kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh Amerika Serikat, yang berpotensi berdampak pada permintaan produk hilirisasi Indonesia, terutama nikel.
Kebijakan AS terkait energi hijau dan industri kendaraan listrik juga dapat mempengaruhi permintaan nikel sebagai bahan baku baterai.
“Memang ada pengaruhnya kebijakan Amerika, bukan hanya dari sisi tarifnya tapi juga bagaimana keberpihakannya dalam energi hijau dan juga industri hijau, termasuk terhadap kendaraan listrik yang tidak lagi menjadi prioritas itu akan mempengaruhi permintaan kebutuhan produk turunan nikel misalnya. Karena baterai yang digunakan untuk brand-brand Amerika itu berbasis nikel, beda dengan EV yang diproduksi oleh China yang bukan berbasis nikel. Artinya kalau selama ini kita mengekspor nikel yang sebagian kecilnya dipakai untuk bahan baku baterai ini bisa terpengaruh karena pengurangan permintaan dari Amerika,” pungkas Faisal. ***
Komentar Anda