PORTAL BONTANG – Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (NTB) memeriksa berkas perkara kasus dugaan pelecehan seksual oleh tersangka penyandang disabilitas tunadaksa berinisial IWAS alias Agus, pada Rabu, 4 Desember 2024.
Juru Bicara Kejati NTB, Efrien Saputra mengungkap pemeriksaan berkas oleh jaksa peneliti ini merupakan tindak lanjut pelimpahan dari penyidik Kepolisian Daerah (Polda) NTB.
“Jadi, berkas perkara atas nama tersangka I Wayan Agus Suartama (IWAS) alias Agus yang dilimpahkan penyidik kepolisian kepada kami,” ujar Saputra kepada wartawan di NTB, pada Rabu, 4 Desember 2024.
Saputra menyebut berkas laporan yang dilayangkan korban terhadap tersangka yang merupakan seorang tunadaksa di NTB tersebut hingga kini masih diteliti oleh Kejati NTB.
“Saat ini masih diteliti oleh Jaksa Peneliti Kejati NTB, baik dalam hal kelengkapan formil dan material,” tegasnya.
Jubir Kejati NTB itu menerangkan berkas perkara tengah dalam proses tahap satu dari penyidik kepolisian ke jaksa peneliti sejak 29 November 2024 lalu.
Apabila nanti hasil penelitian jaksa menyatakan berkas sudah lengkap atau P-21, Efrien memastikan pihaknya akan memberitahukan secara resmi kepada penyidik kepolisian.
Baca Juga: Tanggapi Kadin AS, Kemenperin: TKDN Dorong Investasi Manufaktur dan Perkuat Ekonomi Nasional
“Kalau sebaliknya, masih terdapat kekurangan syarat formil dan materialnya, kami juga akan terbitkan P-19, mengembalikan berkas ke penyidik agar syarat yang kurang bisa segera dilengkapi,” tegasnya.
Modus Tersangka Lewat Komunikasi Verbal
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTB, Kombes Pol. Syarif Hidayat pernah menyampaikan pihaknya masih menunggu hasil penelitian berkas oleh jaksa.
Baca Juga: Prabowo: Muhammadiyah Berhasil Mendidik dan Membesarkan Kader
Syarif mengklaim, kasus IWAS yang kini masuk dalam penelitian berkas oleh Kejati NTB merupakan tindak lanjut dari laporan korban yang berstatus mahasiswi.
“Dua korban sebelumnya telah kita lakukan pemeriksaan, Sekarang memang dia sebagai mahasiswi dan orang Sumbawa,” ujar Syarif kepada wartawan di NTB, pada Rabu, 4 Desember 2024.
“Sementara yang lain akan kita dalami, karena kita dapat informasi baru masuk ke KDD terkait dengan viral-viral. Ternyata ada yang merasa menjadi korban itu yang akan kita dalami,” tandasnya.
Dalam berkas itu penyidik turut menguraikan modus tersangka IWAS sebagai penyandang disabilitas tuna daksa dalam melakukan perbuatan pidana asusila terhadap korban.
Modus tersebut dilakukan tersangka dengan mengandalkan komunikasi verbal yang dapat mempengaruhi psikologi korban.
“Kronologinya secara singkat bahwa pertemuan ini tidak sengaja bertemu di teras Udayana. Si korban bercerita mengungkapkan perasaannya yang dilalui. Lama-lama si pelaku mendengarkan terjadilah pembicaraan di sana,” terang Syarif.
“Sehingga ada perkataan yang membuat si korban ini merasa kalau saya tidak menuruti apa yang disampaikan oleh pelaku, kalau tidak mengikuti permintaan akan bongkar aib (korban). Terjadilah perbuatan apa apa pelecehan seksual itu,” tambahnya.
Terkait kasus ini, penyidik menerapkan sangkaan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
KemenPPA: Korban Harus Berani Speak Up
Dalam kesempatan berbeda, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPA, Ratna Susianawati mengapresiasi korban yang berani angkat bicara atau speak up dalam kasus kekerasan seksual di NTB.
“Kami mengapresiasi korban yang berani speak up,” tegas Ratna saat ditemui awak media di Jakarta, pada Rabu, 4 Desember 2024.
Ratna menyebut KemenPPA berkoordinasi dengan UPTD PPA setempat untuk melakukan pendampingan psikologis kepada korban untuk proses pemulihan.
Di sisi lain, Ratna juga meminta pihak kepolisian untuk bergerak cepat dalam mengungkap dugaan kasus pelecehan seksual oleh tersangka penyandang disabilitas di Mataram, NTB.
“Kami juga mengapresiasi kerja-kerja cepat (polisi), termasuk lembaga-lembaga masyarakat di sana, dan juga pekerja sosial,” tegasnya.
Terkait upaya pelaporan korban soal kasus pelecehan seksual di NTB, ternyata juga ada kaitannya dengan langkah awal pengungkapan pelanggaran hukum.
Speak Up Bisa Hentikan Potensi Bahaya di Masyarakat
Organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat di Inggris, National Guardian menilai masalah yang terjadi di lingkungan sosial penting bagi korban untuk angkat bicara untuk menghentikan potensi bahaya di lingkungan sekitarnya.
“Jika kita merasa ada sesuatu yang salah, penting bagi kita semua untuk merasa mampu angkat bicara guna menghentikan potensi bahaya,” tulis pernyataan National Guardian di laman resminya.
Istilah whistleblowing atau pengungkapan pelanggaran juga sering digunakan untuk menyampaikan masalah tentang berbagai masalah hukum dan etika.
“Korban harus merasa yakin suaranya akan didengarkan dan akan ada tindakan (hukum) yang diambil (dari laporan ke pihak terkait),” terang National Guardian.
Dalam sebuah kutipan buku ‘Speak Up Kalau Kamu Merasa Terganggu’ oleh penulis Muhajjah Saratini yang terbit pada 2023 lalu, seseorang harus berani memberikan batasan terhadap orang lain.
“Ucapan dan tindakan yang menyakitkan dari orang lain dapat memberi pengaruh dalam kehidupan kita,” tulis Saratini dalam bukunya.
“Tanpa kita sadari, pengaruhnya ternyata sudah demikian besar. Siapapun kamu berhak sakit hati, tidak ada kaitannya dengan masuk dalam kelompok mana kamu,” tegasnya.***
***
Penulis: Redaksi | Editor: M Zulfikar A
Komentar Anda